16 tahun hidupnya, mana pernah coba diisi kisah romantik seperti rekan-rekannya yang lain? Leia bahkan belum cukup dewasa untuk bisa menentukan keputusan apalagi pendapatnya sendiri. Pikirannya terus bergemuruh, runyam, dan tak berujung. Terkadang, pikirannya membuatnya seperti orang bodoh. Menyerah untuk menyuarakan pendapatnya, mencegatnya untuk berhenti membuat keputusan, dan tidak tahu akan dibawa ke mana lagi jika Ia tidak juga sadar akan pikirannya yang terus-terusan menjadi poros yang menghancurkan. Baginya, hidupnya ini seperti tidak ada yang berharga kecuali keluarga dan teman yang meskipun teman saja tidak punya. Betapa mirisnya hidup Leia itu?
Leia bingung sekali. Ada apa sebenarnya dengan pikirannya ini? Ingin membuatnya bodoh atau bagaimana? Leia juga ingin bisa berbincang dengan teman mengobrolnya tanpa perlu bertanya pada diri sendiri seperti, “Harus aku jawab apa ya, ini?” Leia juga ingin pikirannya tidak terus untuk berpikir, tolong rehatlah sejenak. Karena buat apa berpikir jika nantinya tidak ada yang bisa dikeluarkan dari pikirannya?
Kata Leia, hidupnya, khususnya pikirannya itu selalu negatif, tidak bisa berpikir bijaksana, selalu ingin berkata yang mungkin bisa menyakitkan seseorang, tidak bisa menemukan kata yang pas untuk dilontarkan, tidak bisa berpikir dengan cepat, dan banyak lagi. Pikirannya terus mencoba untuk bekerja yang malah membuat otak Leia penuh, berat, dan tidak nyaman. Leia tidak tahu harus bagaimana lagi.
Leia, juga tidak tahu, sebenarnya apa yang dia sukai itu? Leia tidak tahu genre musik apa yang dia suka. Leia tidak tahu buku apa yang dia suka. Leia tidak tahu pelajaran apa yang dia suka. Bahkan, Leia tidak tahu apakah dia bisa merasakan ‘rasa’ atau tidak. Leia tidak tahu apapun. Leia, jati dirinya, seperti kehilangan.
Leia tidak tahu, bagaimana diri dia sebenarnya.